Rabu, 26 Oktober 2016

Desa Wisata Kerajinan Rotan, Kayu & Bambu Loyok – Lombok Timur


Loyok adalah sebuah desa di wilayah Kecamatan Sikur, Kabupaten Lombok Timur, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Indonesia. Desa Loyok terdiri dari 5 dusun, yaitu Dusun Loyok, Dusun Mangkling, Dusun Ajan, Dusun Lelupi, dan Dusun Wengkang.

Desa Loyok sekitar 5 Kilo meter dari Tetebatu, merupakan salah satu desan dengan sentra industri kerajinan di Lombok Timur, terdapat beberapa jenis sentra Industri kerajinan di Desa Loyok seperti kerajinan bambu, rotan, kerajinan kayu dan beberapa kerajinan yang unik buah karya dari para pengrajin desa Loyok.

Di Desa Loyok terdapat banyak arts shop yang menjual hasil kerajinan dari para pengrajin, dimana pengunjung dapat membelinya dengan harga terjangkau.

Pembuatan anyaman bambu terletak di desa Loyok. Desa 
Loyok terletak di kecamatan Sikur, sekitar 14 km dari kota Selong dan dapat dijangkau dengan sarana transportasi umum. Sebagian besar warga desa loyok berprofesi sebagai perajin anyaman bambu, dan dari tangan-tangan trampil mereka dihasilkan berbagai macam produk anyaman bambu seperti tas, hiasan dinding, tatakan gelas, piring, asbak, hiasan lampu dan lain sebagainya. Selain dapat digunakan untuk keperluan sehari-hari, produk anyaman bambu desa Loyok juga dapat dijadikan sebagai cinderamata

Karena nilai seni dan keunikannya kita dapat menjumpai produk anyaman bambu desa Loyok menghiasi kamar-kamar hotel berbintang dan kantor-kantor juga telah berhasil menembus pasar ekspor. Kerajinan bambu bukan sesuatu yang baru lahir melainkan kekayaan budaya yang telah berusia hampir sama dengan keberadaan manusia. 

Dampak dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Penemuan plastik telah menggeser kedudukan bambu di masyarakat. Walaupun demikian kita harus menyadari bahwa pada kenyataannya manusia sebagai bagian dari alam tidak dapat melepaskan diri dari alam sehingga upaya untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan menggalakkan kerajinan bambu perlu terus dilestarikan.

(sumber:http://lombokbulanmadu.com/)

Peneliti Temukan Bukti Kemunculan Kembali Kaki Pada Ular

Rekonstruksi Tetrapodophis (National Geographic)


Selama ini kita mengenal ular sebagai hewan melata, padahal dahulu sebelum evolusi, ular memiliki anggota tubuh berupa kaki. Pernahkah Anda membayangkan ular memiliki kaki, namun tetap bisa meluncur dengan cepat?

Baru-baru ini ilmuwan telah menemukan bukti kemunculan kembali kaki pada beberapa ular. Mengapa bisa begitu?

Dua ahli biologi University of Florida, Martin J. Cohn dan Francesca Leal menemukan gen Sonic Hedgehog (SHH) pada ular piton. SHH merupakan gen yang diperlukan untuk perkembangan anggota tubuh.

“Ini merupakan salah satu rancangan tubuh paling aneh pada vertebrata,” ungkap Chon saat mendeskripsikan penemuannya.

Elemen pengatur yang disebut enhancer mengontrol aktivasi gen SHH, membuatnya aktif atau non-aktif. Pada ular, mutasi pada enhancer bisa membuat gen tetap berada di posisi aktif, sehingga memungkinkan anggota tubuh tumbuh dan berkembang.

Dalam studi yang diterbitkan dalam jurnal Current Biology tersebut, peneliti menemukan gen SHH menjadi aktif pada tahap tertentu dalam perkembangan ular piton. Itulah sebabnya mengapa ular piton terkadang memiliki cakar kecil yang menonjol dari kulit. Mereka mulai mengembangkan tungkai.“Pada kadal, gen SHH tetap aktif dan berfungsi sebagai penggerak, mendorong perkembangan anggota tubuh hingga jari-jari,” papar Chon.

Fosil dari masa lampau ...Fosil dari masa lampau menunjukkan bahwa sebelum berevolusi, ular memiliki kaki. (National Geographic)

Itu artinya, sangat mungkin bagi piton untuk menumbuhkan kaki, tanpa membutuhkan siklus evolusi penuh. Mereka hanya membutuhkan mutasi genetik yang tepat untuk membantu menumbuhkan anggota tubuh yang dulu pernah dimilikinya sebelum berevolusi.

Melalui penemuan ini, Chon melihat adanya implikasi masa depan untuk studi evolusioner. “Saya pikir hasil ini dapat menjadi pondasi untuk melakukan studi komparatif lebih jauh untuk mengamati bagaimana organ dan strukturnya menghilang selama waktu evolusi,” pungkasnya. 

(Lutfi Fauziah. Sumber: Delaney Chambers/National Geographic)

10.000 Katak Berstatus Kritis Mati Secara Misterius di Danau Titicaca

Ribuan katak air Titicaca (Telmatobius coleus) ditemukan mati di sepanjang Sungai Coata, anak sungai dari Danau Titicaca, Amerika Selatan. (Serfor/AFP via National Geographic.com)


Ribuan katak berstatus kritis ditemukan mati di sepanjang Sungai Coata, anak sungai dari Danau Titicaca, Amerika Selatan. Para ilmuwan menduga, kemungkinan besar, kematian massal tersebut disebabkan oleh polusi.

Katak air titicaca (Telmatobius coleus) merupakan salah satu katak air terbesar di dunia. Katak ini memiliki kulit yang luar biasa longgar, sehingga sering dijuluki dengan nama skrotum," kata National Geographic explorer Jonathan Kolby, seorang mahasiswa PhD yang mempelajari katak di Amerika Latin.

Kolby menambahkan, kulit keriput katak tersebut merupakan adaptasi untuk membantu menyerap lebih banyak oksigen dari air, mungkin karena mereka tinggal di tempat yang tinggi seperti di sekitar Danau Titicaca di sepanjang perbatasan Peru dan Bolivia.

Untuk mengungkap penyebab kematian hampir 10.000 individu katak tersebut, para ilmuwan lokal akan melakukan nekropsis dan pengambilan sampel air. Sampai hasilnya keluar nanti, belum bisa diketahui apa tepatnya yang membunuh katak.

"Saya akan kagum jika bukan aktivitas manusia yang menyebabkan semua ini," kata Kolby.

The Guardian melaporkan, kemungkinan penyebabnya termasuk kotoran manusia dan pencemaran logam berat dari pertambangan yang sebagian besar ilegal.

IUCN melaporkan bahwa spesies katak tersebut pernah melimpah di Danau Titicaca, tetapi jumlahnya telah menurun 80 persen selama beberapa tahun terakhir, sehingga terancam punah. Perkiraan populasi saat ini tidak diketahui secara pasti, tetapi para ilmuwan khawatir 10.000 kematian bisa berdampak besar.

Ketika peneliti Jacques Cousteau mempelajari katak Titicaca pada 1970-an, hewan tersebut masih sangat banyak dan mudah ditemukan. Ia bahkan menemukan individu yang panjangnya mencapai 50 centimeter dan berat hampir 1 kilogram.

Tidak jelas apakah katak juga melemah akibat terpapar jamur Chytridiomycota, spesies invasif yang menjadi momok di seluruh dunia selama beberapa dekade terakhir dan menyapu jutaan amfibi. Tidak ada laporan yang menyebutkan bahwa infeksi jamur chytrid terdeteksi di air yang jadi habitat katak Titicaca, meskipun Kolby mengatakan, infeksi jamur tersebut telah ditemukan pada spesies yang terkait erat dengan katak Titicaca di Peru, tidak jauh  dari habitat Titicaca.

"Sangat mungkin katak ini juga rentan terhadap chytrid," kata Kolby. "Namun, bahkan katak yang tampaknya bertahan cukup baik terhadap chytrid, ketika manusia mulai menambahkan tekanan tambahan seperti polusi dan hilangnya habitat, hal itu dapat melumpuhkan sistem keseimbangan," pungkasnya.

(Lutfi Fauziah. Sumber: Brian Clark Howard/National Geographic)